Selamat sore, bloggers! Sudah lama saya tidak memposting di blog
ini. Kali ini saya ingin memberikan sedikit pendapat tentang ‘Penolong
Beratribut’ yang sedang ramai dibicarakan di beberapa media sosial khususnya
Facebook.
Hhmm, bukannya sok menjadi komentator, namun saya sedikit ingin
memberi suara dan tanggapan sekaligus juga bisa berupa opini yang barang kali
akan menjadi masukan dan untuk saling sharing informasi saja. Terkait fenomena
di atas saya beropini bahwa atribut ada kalanya memang perlu digunakan dan
memang penting rasanya. Atribut memberikan identitas bagi pemakainya sebagai
ciri khusus sebuah kelompok ataupun individu. Sah-sah saja rasanya jika dalam
setiap kesempatan suatu kelompok ataupun individu mengenakan atributnya
masing-masing. Hal tersebut tentu merupakan hak setiap warga dalam proses
demokrasi negara kita tercinta. Selama tidak bertentangan dengan simbol-simbol
yang dilarang oleh negara. Terlebih lagi menjadi ‘penolong beratribut’. Terkesan
riya’ namun lagi-lagi masalah keikhlasan cukuplah masing-masing pribadi dan
Tuhannya saja yang tahu.
Fenomena di atas semakin ramai dibicarakan dikarenakan respon
yang didapat berbeda-beda dari berbagai macam kalangan. Ada yang menanggapinya
positif, dan sudah pasti ada yang negatif, dan bahkan dengan sinis. Pencitraan,
katanya.
Sudah pasti responnya positif ketika lembaga sosial dan
organisasi-organisasi kepemudaan yang menjadi 'penolong beratribut' tersebut.
Sebut saja misalnya ada PMI, PRAMUKA, KARANG TARUNA, dan berbagai LSM yang
notabenenya lembaga swadaya non-profit. Sudah pasti acungan jempol dari
masyarakat jika mereka-mereka ini menjadi 'penolong beratribut' saat ada
bencana alam ataupun dalam berbagai kegiatan. Seperti saat ini misalnya
berbagai macam LSM bersatu padu membantu evakuasi warga dalam musibah banjir
yang sedang dialami beberapa daerah di tanah air. Masyarakat pun menaruh
simpati penuh kepada mereka para relawan-relawan tersebut. Atau misalkan lagi
PMI sedang melakukan gerakan donor darah massal, anggota Pramuka mengumpulkan
dana sumbangan untuk korban bencana alam, atau hanya sekedar membuat kegiatan
yang sifatnya rutinitas harian, mingguan, atau bulanan seperti jalan sehat atau
senam pagi dengan masyarakat sekitar. Atribut-atribut yang mereka bawa takkan
jadi persoalan.
Lalu, bagaimana jika 'penolong beratribut' itu adalah partai
politik?? Memberi sumbangan dengan serah terima dan ada sesi foto bersama, Ada
stiker yang menempel pada barang yang akan diberikan, dan lain-lain. Hhmm, pro
dan kontra pun sulit untuk dihindari. Ada yang senang dengan sikap partai yang
peduli seperti itu. Namun, ada juga yang menganggap semua itu hanya pencitraan.
Sepertinya masyarakat negeri ini sudah mulai bosan dengan para pelaku politik
yang pandai memberi iming-iming dan janji. Sehingga semua yang berbau politik
secara tidak langsung mendapatkan cap 'KOTOR'. Yaahh, politik kotor. Ntah
memang politik itu kotor, atau bagaimana, ntahlah. Tapi hampir semua hal yang
syarat dengan politik dicampuri dengan hal-hal ‘kotor’.
Menolong karena ada maunya, menolong karena hanya ingin dipilih
saat pemilu, menolong hanya proses pencitraan, menolong dan menolong
sebagainya. Embel-embel 'PAMRIH' terlalu dalam melekat pada partai politik yang
ada di benak masyarakat. Seakan-akan semua yang dilakukan partai politik
mengharapkan timbal balik (feedback)
dari masyarakat. Semua upaya yang dilakukan partai politik hanya proses
penggiringan masyarakat untuk mendukungnya agar menjadi pemenang pemilu untuk
menjadi 'PENGUASA' di negeri ini.
Sebenarnya cukup wajar jika partai politik mengharapkan itu
semua. Karena memang para partai politik bisa tetap bertahan jika dukungan
masyarakat masih melekat dan bersimpati padanya. Dan keberadaan mereka, para
partai politik memang untuk itu semua. Itulah proses di negeri ini. Yang mampu
berkuasa adalah mereka yang mampu 'menyihir' hati masyarakat. Mungkin salah
satu caranya adalah dengan menjadi 'penolong beratribut'.
Yang menjadi permasalahan adalah mengapa banyak respon negatif
saat partai politik yang menjadi 'penolong beratribut'? Mengapa tidak berlaku
juga saat PMI atau mahasiswa kuliah kerja nyata yang menjadi 'penolong
beratribut'? Toh sama-sama beratribut? Sama-sama ada simbol kelompoknya disana?
Perbedaannya adalah organisasi non-partai tidak mengharapkan
timbal balik yang signifikan dari masyarakat. Mereka akan tetap concern dijalurnya dengan misi tolong-menolong,
tidak lebih. Dan keberadaan mereka bukan hasil dari proses 'celupan tinta biru'
di ujung jari tangan masyarakat. Sedangkan partai politik, keberadaannya
dipengaruhi seberapa banyak masyarakat yang mencoblos logo partainya saat
pemilu.
Yang menjadikan semakin tajam sinisme masyarakat tentang jelmaan
partai yang menjadi 'penolong beratribut' adalah saat mereka telah mendapatkan
yang mereka inginkan, setelah mereka menjadi penguasa negeri ini, telah duduk di
kursi mewahnya, di saat itulah mereka banyak yang lupa dengan para 'coblosser' yang
telah menjadikan mereka 'PENGUASA' segalanya. Mereka tak lagi menjadi 'penolong
beratribut' bagi rakyat kecil. Justru mereka asyik menggelembungkan perutnya
dengan harta rampasan rakyat jelata dengan perbuatan keji yang terbungkus KORUPSI.
Mereka terlena dengan semuanya. Mereka alpa memandang ke bawah.
Satu persatu baru akan mengakhiri perbuatan korupsinya saat
harus bermalam di hotel prodeo. Dan bagi mereka yang belum terjerat, akan
berubah menjadi 'penolong beratribut' lagi saat musim pemilu akan tiba.
Superman yang hadir musiman. Ya, walau tak semua partai politik dan oknumnya
berlaku kotor. Namun, yang terlihat kotor yang mencolok.
Itulah barang kali alasan mengapa masyarakat banyak yang
memandang sebelah mata setiap aksi partai politik dan oknumnya yang mencoba
menjadi 'penolong beratribut'.
Pekerjaan rumah yang sangat besar bagi setiap partai politik
untuk tetap menjadi 'penolong beratribut' yang konsisten menjadi pahlawan bagi
rakyat kecil saat akan pemilu ataupun setelah duduk di kursi singgasananya saat
menjadi pemenang pemilu ataupun yang kalah dalam pemilu. Karena pada hakikatnya
mereka yang berjiwa penolong tak mengenal waktu untuk menolong sesama.
Jangan pernah jadikan masyarakat seperti batang tebu. Yang habis
manis sepah dibuang. Dan janganlah menjadi kacang yang lupa kulitnya.
Sesungguhnya amanah itu diminta pertanggung jawabannya. Sedangkan Bagi kita-kita
masyarakat pemilih haruslah menjadi pemilih yang selektif agar wakilnya kelak
benar-benar menjadi ‘penolong beratribut’ yang tetap konsisten menolong Anda.
JADILAH
‘PENOLONG BERATRIBUT’ YANG BERJIWA PENOLONG!!
Semoga
dapat menjadi bahan renungan kita bersama.
Wassalam.