Sunday 1 May 2011

TEORI BELAJAR HUMANISTIK


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Siswa adalah objek dari pembelajaran. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang mudah mengerti dan ada pula siswa yang daya tangkapnya agak lambat. Yang menjadi permasalahan adalah siswa kurang dapat menguasai apa yang disampaikan oleh guru. Walaupun kadang guru telah mempersiapkan segalanya untuk proses pembelajaran.
Apa yang telah dirancang oleh guru sesuai konsep dan secara sistematis mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa. Agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sesuai teori humanistik. Pada bab II akan dijelaskan tentang teori humanistik dan penerapannya.

B.     Pokok Masalah
Pada bagian kali ini akan dikaji beberapa masalah tentang teori humanistik dan penerapannya dalam pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti:
1.    Apa pengertian belajar menurut teori humanistik?
2.    Bagaimana pandangan Kolb terhadap belajar?
3.    Bagaimana pandangan Honey dan Mumford terhadap belajar?
4.    Bagaimana pandangan Habermas terhadap belajar?
5.    Bagaimana pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap belajar?
6.    Serta bagaimana aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran?






BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuk yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.[1]
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausebel. Pendangannya tentang belajar bermakna atau Meaning Learning yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.[2]
Teori humanistik berpandangan elektif yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia sehingga tujuan aktualisasi diri dapat tercapai.

Hirarki mencapai aktualisasi diri

Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya, Honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya, serta Bloom dan Karthwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya.

B.     Pandangan Kolb Terhadap Belajar
Seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu
1.      Pengalaman konkret;
2.      Pengamatan aktif dan reflektif;
3.      Konseptualisasi;
4.      Eksperimentasi aktif.
Pada tahapan paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekadar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar.[3]
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.[4] Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bias terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang.[5] Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflaktif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.[6]
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis tahap-tahp belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.[7]

C.    Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni, (1) aktivis, (2) reflektor, (3) teoris, dan (4) pragmatis.
Ciri siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka terhadap sesuatu. Ini kadangkala identik dengan sifat mudah percaya. Dalam menemukan hal-hal baru, seperti problem solving. Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu dalam implementasi.[8]
Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung “konservatif”, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan. Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Untuk siswa tipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, kata mereka. Namun, apabila teori tidak bisa dipraktikkan, untuk apa? Kebanyakan siswa bertipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoretis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan.[9]




D.    Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Tokoh humanis lain adalah Hubermas. Menurutnya, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu: 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipator learning).[10]
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.[11]
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak terhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia.[12]
Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) cultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.[13]




E.     Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar
   Bloom dan Krathwohl menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam Taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1)      Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2)      Pemahaman (menginterpretasikan)
3)      Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4)      Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5)      Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjdai suatu konsep utuh)
6)      Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dll)
b.      Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)      Peniruan (menirukan gerak)
2)      Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3)      Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4)      Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5)      Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c.       Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)      Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2)      Merespon (aktif berpartisipasi)
3)      Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
4)      Pengorganisasian (menghubug-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
5)      Pengamalan menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya) [14]


F.     Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas kea rah mana ia akan berkembang.[15]
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapa membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.[16]
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.        Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2.        Menentukan materi pelajaran.
3.        Mengidentifikasi kemampuan awal (entry behavior) siswa.
4.        Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
5.        Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
6.        Membimbing siswa belajar secara aktif.
7.        Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
8.        Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
9.        Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
10.    Mengevaluasi proses dan hasil belajar.[17]

Guru Sebagai Fasilitator
            Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1.      Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.      Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.      Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6.      Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7.      Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8.      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9.      Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10.  Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[18]











BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
Tujuan belajar menurut teori humanistik adalah untuk memenusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat elektif, maksudnya teori ini memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir unduktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
B.     Kritik dan Saran
Penulis sangat bersyukur kepada Allah swt. yang melimpahkan nikmat-Nya kepada hamba-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Tetapi penulis sangat menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah ada yang sempurna. Begitu juga dengan karya ilmiah ini penulis menyadari masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Maka dari itu dengan berbesar hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar dapat menjadi bahan koreksi demi kesempurnaan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA


Abu Ahmadi & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajara. Jakarta: Rineka Cipta.
Uno, Hamzah B. 2008.  Orientasi Baru dalam Psikologi PembelajaranJakarta:  PT. Bumi Aksara.
Trimanjuniarso.wordpress.com


[1] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 68.
[2] Ibid.
[3] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta:  PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 15.
[4] Ibid.
[5] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 70.
[6] Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 15.
[7] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 71.
[8] Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 16.
[9] Ibid.
[10] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 73.
[11] Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 16.
[12] Ibid., hlm. 17.
[13] Ibid.
[14] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 75.
[15] Ibid., hlm. 76.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 77.
[18] Abu Ahmadi & Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 236.

SERTIFIKASI GURU


BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik profesional. Seorang guru atau pendidik profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana S1 atau Diploma 4 (D4), menguasai kompetensi, memiliki sertifikat pendidi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[1]
Sertifkasi guru merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelejaran. Dengan terlaksananya sertfikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan.[2]
Penulis menyadari sebagai seorang calon guru menganggap perlu mengetahui arti sertifikasi guru. Hal tersebut dikarenakan apabila nantinya menjadi guru maka tidak terlepas dari sertifikasi guru. Oleh karen itu panulis akan membahas sertifikat secara detail.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.    Apa pengertian sertifikasi guru itu?
2.    Apa prinsip sertifikasi guru?
3.    Bagaimana penyelenggaraan sertifikasi guru?



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Pengertian Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesi guru. Sertifikat adalah dokumen resmi yang menyatakan informasi di dalam dokumen itu benar adanya. Sertfikasi adalah proses pembuatan dan pemberian dokumen tersebut. Guru yang telah mendapat sertifkat berarti telah mempunyai kualifikasi mengajar seperti yang dijelaskan di dalam sertifikat itu.[3]
Sertifikasi pendidik bagi guru diatur dalam 11 ayat (2) dan (3) UU Guru dan Dosen, yang menyebut bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditas dan ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel.[4]
Sertifikasi dilakukan dengan mendata semua yag dimiliki setiap guru. Data tersebut dapat berupa ijazah, diploma, tanda lulus kursus, tanda mengikuti pelatihan. Data dapat juga berupa hasil karya ilmiah atau kepesertaan dalam kegiatan pengabdian masyarakat. Guru yang banyak kegiatan dan rajin menyimpan dokumen kegiatan akan mudah mengikuti proses sertifikasi. Sekolah yang rapi membuat dokumentasi atas kegiatan guru juga berperan besar dalam melancarkan proses sertifikasi.[5]
1.    Sertifikat pendidik
Sertifikat pendidik adalah sertifikat yang ditanda tangani oleh perguruan tinggi penyelenggaraan sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Dalam pengertian ini, pendidik mencakup guru dan dosen. Sertifikasi yang dilakukan terhadap para guru disebut sertifikasi guru. Adapun sertifikasi yang dilakukan terhadap para dosen disebut sertifikasi dosen.[6]
Perlunya ada sertifikat bagi guru dan dosen, bukan saja untuk memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya kualifikasi minimum dan sertifikasi (terkualifikasi dan tersertifikasi), juga dimaksudkan agar guru dan dosen dapat diberi tunjangan profesi dari negara. Tunjangan profesi itu juga diperlukan sebagai syarat mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi itu dapat hidup layak dan memadai. Apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih tergolong kelompok yang berpenghasilan rendah. Yang harus di bantu meningkatkan kesejahteraannya melalui undang-undang ini.[7]
2.    Tujuan dan Manfaat Sertifikasi Guru
Banyak sekali tujuan sertifikasi guru. Tujuan utama sertifikasi guru adalah:
a.    Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b.    Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.
c.     Meningkatkan martabat guru.
d.    Meningkatkan profesionalitas guru.
Manfaat sertifikasi guru juga banyak. Manfaat sertfikasi guru yang utama ialah:
a.    Melindunngi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.
b.    Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional.
c.     Meningkatkan kesejahteraan guru.[8]

3.    Perlunya Sertifikasi Guru
Pada dasarnya, tiap profesi memerlukan pembuktian atas tingkat profesionalitas yang dimiliki oleh tiap anggota profesi. Tiap guru, dokter, notaris, akuntan harus memiliki bukti profesionalitas guru dilakukan melalui proses sertifikasi guru. Guru berbeda dengan dukun atau “orang pintar”. Dukun atau orang pintar mendapat reputasinya dari informasi mulut ke mulut, dan tidak perlu menjalani proses sertifikasi.[9]
Bila seorang guru kuliah lagi untuk meningkatkan kualifikasinya, perkuliahan ini harus bertujuan mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga dia mendapatkan ijazah S1 atau S2. Ijazah ini jangan dicapai dengan segala cara yang tidak benar. Ijazah ini merupakan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan keterampilan baru.[10]
Bila seorang guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa dia telah memiliki kompetensi sebagai mana disyaratkan dalam standar kompeternsi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan tersebut. Dengan menyadari hal ini, guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertfikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan cara seperti itu, sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru. Diharapkan tidak ada lagi warga masyarakat berkata: “Sertifikasi guru telah dilaksanakan, tetapi mengapa pendidikan di sekolah masih berantakan”. [11]
4.    Dasar Hukum Sertifikasi Guru
Secara umum, sertifikasi guru dapat dianggap sebagai amanah dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara khusus, sertifikasi guru dilakukan dengan mengacu ke UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ( UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005, terutama pasal (8) dan (11).
Pasal 8 UUGD menyatakan:
. . . . guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pasal 11 ayat 1 UUGD menyatakan:
. . . . sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.

Pedoman operasional sertifikasi guru mengacu ke peraturan menteri pendidikan nasional (permendiknas) No. 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007.[12]
B.   Prinsip Sertifikasi
1.    Dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel
Objektif yaitu mengacu kepada proses perolehan sertifikat pendidik yang inpartial, tidak deskriminatif dan memenuhi standar pendidikan nasional. Transparan yaitu mengacu kepada proses sertifiikasi yang memberikan peluang kepada para pemangku kepentingan pendidik untuk memperoleh akses informasi tentang proses dan hasil sertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang dipertanggung jawabkan kepada pemangku kepentingan pendidik secara administratif, finansial, dan akademik.
2.    Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan guru dan kesejahteraan guru
Sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Guru yang telah lulus uji sertifikasi guru akan diberi tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok sebagai bentuk upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru.
3.    Dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
Program sertifikasi pendidik dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4.    Dilaksanakan secara terencana dan sistematis
Agar pelaksanaan program sertifikasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien harus direncanakan secara matang dan sistematis. Sertifikasi mengacu pada kompetensi guru dan standar kompetensi guru. Kompetensi guru mencakup empat kompetensi pokok yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, sedangkan standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang kemudian dikembangkan menjadi kompetensi guru TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran. Untuk memberikan sertifikat pendidik kepada guru, perlu dilakukan, uji kompetensi melalui penilaian portofolio.
5.    Jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah
Untuk alasan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan sertifikasi guru serta penjaminan kualitas hasil sertifikasi, jumlah peserta pendidikan profesi dan uji kompetensi setiap tahunnya ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan jumlah yang ditetapkan pemerintah tersebut, maka disusunlah kuota guru peserta sertifikasi untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Penyusunan dan penetapan kuota tersebut didasarkan atas jumlah data individu guru per kabupaten/kota yang masuk di pusat data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.[13]

C.   Penyelengaraan Sertifikasi Guru
1.    Dasar Hukum Penyelenggara Sertifikasi Guru
UUGD Pasal 11 ayat (2) menyatakan:
. . . . sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, sertifikasi guru diselenggarakan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Persyaratan perguruan tinggi yang dapat melaksanakan sertifikasi guru ialah sebagai berikut:
a.    Memiliki program studi pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi sesuai dengan yang berlaku.
b.    Ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.[14]
2.    Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Guru
Proses sertifikasi guru dilakukan oleh perguruan tinggi negeri dan swasta. Yang pasti perguruan tinggi tersebut harus program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan masuk dalam daftar perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Perguruan tinggi bersangkutan memberikan sertifikat yang berlaku sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[15]
3.    Tenggat Waktu Sertifikasi Guru
Semua guru harus sudah memiliki sertifikat pendidik selama 10 tahun setelah UUGD disahkan. Berarti, tahun 2015 proses sertifikasi guru dalam jabatan harus sudah selesai.


4.    Penyandang Dana Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru dianggarkan melalui dan APBN, APBD dan sumber lain yang sah. Sertifikasi guru dalam jabatan merupakan program Pemerintah yang didasarkan pada rencana tahunan yang ditetapkan oleh Mendiknas. Oleh karena itu, tidak diperkenankan ada tambahan peserta di luar rencana tahunan yang sudah ditetapkan. Guru atau institusi boleh membiayai sendiri untuk pelaksanaan sertifikasi guru, sepanjang masih dalam jumlah kuota kabupaten/kota atau provinsi yang ditetapkan oleh Mendiknas.[16]
5.    Kuota Sertifikasi Guru
Pada tahun 2007, kuota non PNS adalah 25%. Angka ini merupakan hasil kesepakatan dengan BMPS sebagai bagian dari bentuk perhatian kepada guru non PNS. Guru Non PNS yang mengikuti sertifikasi harus memenuhi persyaratan masa kerja minimal 2 tahun.
Pada tahun 2007, sebanyak 200.450 guru kelas dan guru mata pelajaran untuk semua jenjang pendidikan baik PNS maupun non PNS akan disertifikasi.[17] Sedangkan untuk tahun 2008 guru yang disertifikasi adalah sebanyak 200.000 orang. Khusus wilayah Provinsi Riau sebanyak 4.920 orang.[18]
6.    Peran Dinas Pendidikan
Dinas pendidikan Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap penetapan peserta sertifikasi guru setiap tahun. Untuk itu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota harus membentuk Panitia Pelaksanaan Sertifikasi Guru.
Tugas Panitia Pelaksana Sertifikasi Guru adalah:
a.    Mengikuti sosialisasi sertifikasi di Pusat dan atau di Provinsi
b.    Menentukan urutan prioritas peserta sertifikasi berdasarkan kriteria yang berlaku sesuai dengan kuota kabupaten/kota
c.     Membuat SK penetapan peserta sertifikasi
d.    Melakukan sosialisasi pelaksanaan sertifikasi kepada guru
e.    Menyerahkan kepada peserta sertifikasi berkas-berkas sebagai berikut: Formulir pendaftaran, Nomor peserta/nomor kuota, Panduan pengisian instrument portofolio, Instrumen portofolio, dan Instrumen penilaian Atasan.
f.      Mengumpulkan dari guru peserta sertifikasi berkas: Formulir pendaftaran, Instrumen portofolio, dan Bukti fisik yang mendukung instrumen portofolio
g.    Mengecek kelengkapan data/berkas peserta
h.    Mengirim berkas ke LPTK penyelenggara sertifikasi yang ditunjuk Pemerintah.
i.      Mengumpulkan hasil penilaian dari LPTK kepada guru peserta sertifikasi
j.      Mengumpulkan kelengkapan berkas portofolio bagi guru yang belum lulus atau belum lengkap portofolionya.
k.    Membantu meremidiasi bagi guru yang belum lulus ujian diklat pendidikan profesi. Memfasilitasi guru yang belum lulus diklat profesi untuk mengikuti ujian ulang diklat profesi.
Memaknai sertifikasi guru berarti pula memaknai capaian pendidikan sepanjang perjalanan bangsa ini. Ini berarti pula membuka akses bagi peningkatan kualitas guru dan mengubah rutinitas dan pola pembelajaran yang membosankan menjadi lebih dinamis, dan memiliki basis kompetensi yang kuat pada bidang-bidang keahlian guru-guru kita.. Asumsinya, sumber daya guru yang andal dan berkualitas secara signifikan juga akan berpengaruh terhadap output yang dihasilkan. Semoga sertifikasi guru nasional dapat benar-benar menjadi “mercusuar” pengembangan kualitas anak-anak bangsa, ahli waris dan penerus pembangunan nasional.[19]


BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesi guru. Sertifkasi guru merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelejaran. Dalam sertifikasi guru harus mengacu kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:
                  a            Dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel
                 b            Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan guru dan kesejahteraan guru
                  c            Dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
                 d            Dilaksanakan secara terencana dan sistematis
                  e            Jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah
Dalam penyelenggaraan sertfikasi guru sebagai pelaksana adalah perguruan tinggi negeri dan swasta yang memiliki program pengadaan pendidikan tenaga kependidikan. Pelaksanaannya mengacu kepada perundang-undangan yang mengaturnya. Pesertanya adalah guru yang minimal mengajar selama dua tahun.
B.   Kritik dan Saran
Penulis sangat menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah ada yang sempurna. Begitu juga dengan karya ilmiah ini penulis menyadari masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Kekurangan dan kesalahan diakibatkan oleh keterbatasan bahan dan kemapuan penulis. Maka dari itu dengan berbesar hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar dapat menjadi bahan koreksi demi kesempurnaan makalah ini. Selain itu, diharapkan kepada pembaca agar dapat membuat karya yang lebih baik dari karya penulis ini.
DAFTAR PUSTAKA


Arifin, Anwar. 2007. Profil Baru Guru dan Dosesn Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.
Nandika, Dodi. 2007. Pendidikan di Indonesia di Tengah Gelombang Perubahan. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Suyatno. 2008. Panduan Sertifikasi Guru. Jakarta: Penerbit Indeks.
http://sertifikasiguru.org/kuota.php?k=5



[1] Suyatno, Panduan Sertifikasi Guru, (Jakarta: Penerbit Indeks, 2008), hlm. 24.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Anwar Arifin, Profil Baru Guru dan Dosen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Indonesia, 2007), hlm. 54.
[5] Suyatno, op. cit., hlm. 2.
[6] Ibid.
[7] Anwar Arifin, op. cit., hlm. 52.
[8] Ibid., hlm. 3.
[9] Suyatno, op. cit., hlm. 3.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 4-5.
[13] Ibid., hlm. 27-29.
[14] Ibid., hlm. 5.
[15] Ibid., hlm. 6.
[16] Ibid., hlm. 6.
[17] Ibid., hlm. 7.
[18] http://sertifikasiguru.org/kuota.php?k=5
[19] Dodi nandika, Pendidikan di Indonesia di Tengah Gelombang Perubahan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007), hlm. 73.