Sunday 1 May 2011

TEORI BELAJAR HUMANISTIK


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Siswa adalah objek dari pembelajaran. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang mudah mengerti dan ada pula siswa yang daya tangkapnya agak lambat. Yang menjadi permasalahan adalah siswa kurang dapat menguasai apa yang disampaikan oleh guru. Walaupun kadang guru telah mempersiapkan segalanya untuk proses pembelajaran.
Apa yang telah dirancang oleh guru sesuai konsep dan secara sistematis mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa. Agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sesuai teori humanistik. Pada bab II akan dijelaskan tentang teori humanistik dan penerapannya.

B.     Pokok Masalah
Pada bagian kali ini akan dikaji beberapa masalah tentang teori humanistik dan penerapannya dalam pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti:
1.    Apa pengertian belajar menurut teori humanistik?
2.    Bagaimana pandangan Kolb terhadap belajar?
3.    Bagaimana pandangan Honey dan Mumford terhadap belajar?
4.    Bagaimana pandangan Habermas terhadap belajar?
5.    Bagaimana pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap belajar?
6.    Serta bagaimana aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran?






BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuk yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.[1]
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausebel. Pendangannya tentang belajar bermakna atau Meaning Learning yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.[2]
Teori humanistik berpandangan elektif yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia sehingga tujuan aktualisasi diri dapat tercapai.

Hirarki mencapai aktualisasi diri

Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya, Honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya, serta Bloom dan Karthwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya.

B.     Pandangan Kolb Terhadap Belajar
Seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu
1.      Pengalaman konkret;
2.      Pengamatan aktif dan reflektif;
3.      Konseptualisasi;
4.      Eksperimentasi aktif.
Pada tahapan paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekadar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar.[3]
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.[4] Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bias terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang.[5] Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflaktif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.[6]
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis tahap-tahp belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.[7]

C.    Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni, (1) aktivis, (2) reflektor, (3) teoris, dan (4) pragmatis.
Ciri siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka terhadap sesuatu. Ini kadangkala identik dengan sifat mudah percaya. Dalam menemukan hal-hal baru, seperti problem solving. Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu dalam implementasi.[8]
Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung “konservatif”, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan. Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Untuk siswa tipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, kata mereka. Namun, apabila teori tidak bisa dipraktikkan, untuk apa? Kebanyakan siswa bertipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoretis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan.[9]




D.    Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Tokoh humanis lain adalah Hubermas. Menurutnya, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu: 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipator learning).[10]
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.[11]
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak terhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia.[12]
Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) cultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.[13]




E.     Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar
   Bloom dan Krathwohl menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam Taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1)      Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2)      Pemahaman (menginterpretasikan)
3)      Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4)      Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5)      Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjdai suatu konsep utuh)
6)      Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dll)
b.      Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)      Peniruan (menirukan gerak)
2)      Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3)      Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4)      Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5)      Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c.       Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)      Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2)      Merespon (aktif berpartisipasi)
3)      Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
4)      Pengorganisasian (menghubug-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
5)      Pengamalan menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya) [14]


F.     Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas kea rah mana ia akan berkembang.[15]
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapa membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.[16]
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.        Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2.        Menentukan materi pelajaran.
3.        Mengidentifikasi kemampuan awal (entry behavior) siswa.
4.        Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
5.        Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
6.        Membimbing siswa belajar secara aktif.
7.        Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
8.        Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
9.        Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
10.    Mengevaluasi proses dan hasil belajar.[17]

Guru Sebagai Fasilitator
            Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1.      Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.      Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.      Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6.      Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7.      Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8.      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9.      Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10.  Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[18]











BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
Tujuan belajar menurut teori humanistik adalah untuk memenusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat elektif, maksudnya teori ini memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir unduktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
B.     Kritik dan Saran
Penulis sangat bersyukur kepada Allah swt. yang melimpahkan nikmat-Nya kepada hamba-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Tetapi penulis sangat menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah ada yang sempurna. Begitu juga dengan karya ilmiah ini penulis menyadari masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Maka dari itu dengan berbesar hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar dapat menjadi bahan koreksi demi kesempurnaan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA


Abu Ahmadi & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajara. Jakarta: Rineka Cipta.
Uno, Hamzah B. 2008.  Orientasi Baru dalam Psikologi PembelajaranJakarta:  PT. Bumi Aksara.
Trimanjuniarso.wordpress.com


[1] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 68.
[2] Ibid.
[3] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta:  PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 15.
[4] Ibid.
[5] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 70.
[6] Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 15.
[7] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 71.
[8] Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 16.
[9] Ibid.
[10] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 73.
[11] Hamzah B. Uno, op. cit., hlm. 16.
[12] Ibid., hlm. 17.
[13] Ibid.
[14] C. Asri Budiningsih, op. cit., hlm. 75.
[15] Ibid., hlm. 76.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 77.
[18] Abu Ahmadi & Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 236.

0 comments: